Ibnu Sina, Puncak Rasionalisme Islam Abad Pertengahan

Malam telah turun di Iran. Ketika rumah-rumah lainnya telah menutup pintu dan jendela, sebuah rumah di salah satu gang di Kota Isfahan tampak masih ramai oleh tamu. Mereka para tamu itu serius mendengarkan seorang pria yang sedang menjelaskan tentang gejala diabetes dan teknik membedah perut. Ini lah kelas kedokteran yang dibuka seribu tahun lalu oleh Ibnu Sina, seorang dokter yang karya-karyanya masih terus dirujuk oleh kampus-kampus tertua di Eropa selama ratusan tahun berikutnya.

(Gambar dari: http://i.kdcdn.com/)
(Gambar dari: http://i.kdcdn.com/)


Lahir di Afsana, sebuah desa di Uzbekistan pada sekitar Tahun 980 Masehi, Ibnu Sina (bernama lengkap Abu Ali Al-Husain Ibnu Abdullah Ibnu Sina, atau dikenal di Barat dengan nama Avicenna) berasal dari sebuah keluarga yang mementingkan ilmu pengetahuan. Ayahnya Abdullah adalah seorang ulama Syiah Ismailiyah terkemuka sekaligus penguasa setempat, sementara ibunya Setareh adalah seorang wanita terpelajar dari Bukhara. Sejak kecil, selain mempelajari Al-Qur’an dan ilmu agama, Ibnu Sina juga telah mendalami beragam pengetahuan di sekolah-sekolah di Bukhara, mulai dari filsafat Aristoteles hingga matematika India. Di usia 16 tahun, dia pun mulai mempelajari karya-karya kedokteran Yunani seperti Galen dan Hippokratus. Dan di usia 20 tahun, dia telah dikenal sebagai seorang dokter yang handal. Sepanjang hidupnya, dia menulis sekitar 450 buku panjang dan pendek tentang beragam disiplin ilmu, termasuk kedokteran, matematika, musik, mekanika, kimia, psikologi, dan filsafat.

Pencapaian Ibnu Sina tidak lah diraih begitu saja. Ada didikan keluarga yang terpelajar, akses ke perpustakaan, dukungan penguasa, serta iklim yang ilmiah dan terbuka terhadap ijtihad di Persia dan Asia Tengah kala itu. Semuanya merupakan buah dari gerakan rasional di Dunia Islam yang terjadi jauh sebelum masa Ibnu Sina. Dua abad sebelumnya, para penguasa Abbasiyah membuat keputusan penting dengan melakukan penerjemahan besar-besaran buku-buku para ilmuwan dan filosof kuno dari Bahasa Yunani, Persia, dan Sanskerta ke dalam Bahasa Arab. Sebuah lembaga penerjemahan raksasa yang disebut Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) didirikan di Ibukota Baghdad, sehingga karya-karya filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan menyebar cepat dari Maroko hingga Afghanistan. Karya-karya terjemahan ini lah yang kemudian mengantarkan Ibnu Sina menjadi seorang ilmuwan besar di zamannya.

(Gambar dari: http://www.muslimheritage.com/)
(Gambar dari: http://www.muslimheritage.com/)


Meski lebih dikenal sebagai seorang dokter dengan karya monumentalnya Qanun fii Thiib (Kanon Kedokteran), Ibnu Sina juga banyak bergelut di bidang filsafat, metafisika, dan logika. Bahkan karya-karyanya yang membahas filsafat jauh lebih banyak dari karyanya tentang kedokteran. Pandangannya seputar kosmologi, Tuhan, dan jiwa banyak dipengaruhi oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Seperti konsep Tuhan sebagai Prima Causa (Sebab Pertama) yang menggerakkan semesta. Di sisi lain, dia juga menciptakan alternatif dari Logika Aristoteles dan mendirikan aliran logikanya sendiri yang kelak digunakan luas di pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah beberapa abad sesudahnya.

Terkait penafsiran agama, Ibnu Sina percaya pada pendekatan rasional untuk memahami ayat-ayat suci. Menurutnya, ayat-ayat Qur’an tidak semuanya bisa dibaca secara literal karena akan bertentangan dengan akal sehat. Metode takwil adalah cara yang paling tepat untuk membacanya. Ibnu Sina menggunakan takwil untuk menyelaraskan Al-Qur’an dengan filsafat dan spekulasi rasional, mirip dengan usaha-usaha kontemporer untuk menyelaraskan Al-Qur’an dengan sains modern. Para nabi misalnya dia sebut sebagai filosof dengan daya imajinasi tinggi yang dapat menerima ilham. Sementara mukjizat seperti membelah laut dan menyembuhkan orang sakit adalah kemampuan untuk mengendalikan materi agar dapat berperilaku melawan kebiasaan umum.

Cara pandangnya yang sering merasionalkan persoalan aqidah ini banyak dikecam oleh ulama ortodoks. Tak kurang dari tokoh-tokoh konservatif seperti Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim menyebut Ibnu Sina sebagai seorang kafir yang lebih sesat dari orang musyrik. Namun tak urung, masyarakat Islam Dunia kini mengelu-elukannya sebagai salah satu tokoh paling membanggakan di sepanjang sejarah Islam. Sejumlah negara mencetak mata uang dan perangko dengan gambarnya. Patung-patung untuk mengenang jasanya dibangun mulai dari Spanyol dan Afrika Utara hingga Turki dan Iran. Namanya pun banyak digunakan sebagai nama sekolah, klinik, rumah sakit, masjid, dan universitas meski pun ulama-ulama Saudi telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkannya.

(Gambar dari: http://www.indoamerican-news.com/)
(Gambar dari: http://www.indoamerican-news.com/)

Ibnu Sina adalah sebuah contoh keberhasilan harmonisasi antara agama dan filosofi, antara wahyu dan akal. Terbukanya pintu ijtihad di zamannya membuat iklim diskusi menjadi hidup dan dinamis. Islam yang rasional terbukti telah melahirkan tokoh-tokoh paling jenius seperti dirinya. Tak perlu takut dan gentar dengan tuduhan sesat yang dilontarkan sana-sini. Karena pada akhirnya, sejarah lah yang akan mencatat nama besar dari orang-orang yang mau menggunakan akalnya.

…..Maka apakah kamu tidak menggunakan akal? (Al-An’am: 32)

Sumber : https://islamreformis.wordpress.com/2015/05/27/ibnu-sina-puncak-rasionalisme-islam-abad-pertengahan/

Komentar

Postingan Populer