Ratu Rania, Menebar Damai dari Yordania

(Gambar dari: http://sansretouches.com/)
(Gambar dari: http://sansretouches.com/)

Dalam sebuah pertemuan resmi di Vatikan pada 2013, Paus Fransiskus menggemparkan media Barat dengan membungkuk pada seorang tamu perempuan. Menurut protokol resmi, setiap tamu di Vatikan harus membungkuk pada Paus sebagai kepala negara sekaligus pemimpin umat Katolik sedunia. Namun Paus Fransiskus memilih mengabaikan protokol dan justru membungkuk hormat pada seorang tamu perempuannya. Yang tak kalah menggemparkan, perempuan itu ternyata adalah seorang Muslimah. Dia lah Rania Al-Abdullah, Ratu Yordania.

Apa yang membuat Paus Fransiskus mengabaikan protokol dan membungkuk pada Ratu Rania, di istananya sendiri di jantung Vatikan? Paus Fransiskus adalah suara reformis dan toleran dalam tubuh Gereja Katolik. Masa kepemimpinannya diwarnai upaya-upaya membangun jembatan peradaban demi cita-cita perdamaian dunia. Untuk tujuan itu, dia harus merangkul simpul-simpul moderat dalam agama-agama lainnya. Motif ini lah yang menggerakkan sang pemimpin lebih dari 1 milyar umat Katolik itu untuk membungkuk takzim di hadapan Ratu Rania. Jika Paus Fransiskus adalah suara reformis di tubuh Katolik, maka sang Ratu adalah suara reformis di tubuh Islam. Satu bungkukan sederhana itu telah menyiratkan sebuah pesan agung perdamaian yang gaungnya menggema ke seluruh dunia.

Lalu seperti apa kah sebenarnya sosok Ratu Rania, hingga seorang Paus sudi membungkuk padanya?

Lahir dari orangtua berdarah Palestina, Rania menghabiskan masa kecilnya di Kuwait. Dia bersekolah dan menjalani kehidupan yang wajar seperti anak muda Timur Tengah lainnya hingga memulai karirnya di Amman, ibukota Yordania. Perkenalannya yang berlanjut hingga ke pernikahan dengan putra mahkota Yordania, yang kemudian menjadi Raja yaitu Abdullah II, menjadi titik balik hidupnya. Dengan mengemban gelar sebagai seorang ratu, Rania sadar bahwa pikirannya kini tak bisa lagi tercurah hanya untuk urusan pribadi dan keluarganya, tapi juga untuk negaranya. Sejak itu lah dia aktif terlibat dalam berbagai kegiatan pendidikan, kesehatan, serta pengembangan generasi muda di Yordania. Sejumlah yayasan dan anugerah beasiswa telah didirikan atas namanya.

(Gambar dari: http://jto.s3.amazonaws.com/)
(Gambar dari: http://jto.s3.amazonaws.com/)

Di tengah gejolak konflik sektarian dan pertumpahan darah atas nama agama yang terjadi di Timur Tengah, Yordania menjadi satu dari sedikit oase damai dan contoh negara Arab yang tetap berhasil menjaga stabilitas dalam negerinya. Hal ini merupakan sebuah prestasi tersendiri, mengingat letak geografis Yordania yang dikepung negara-negara tidak stabil seperti Suriah dan Irak yang telah dilanda perang bertahun-tahun, Palestina yang masih dijajah Israel, hingga Arab Saudi yang kini berperang dengan Yaman. Lebih dari itu, Yordania bahkan menampung jutaan pengungsi dari negara tetangganya dengan tangan terbuka. Mulai dari pengungsi Palestina, Irak, hingga yang terbaru yaitu Suriah. Semuanya tak terlepas dari peran para pemimpin politik Yordania, termasuk Rania dan suaminya, yang tak kenal lelah mempromosikan toleransi, perdamaian, dan kemanusiaan. Penegakan hukum, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, serta Islam yang moderat menjadi kunci bagi situasi damai di Yordania.

Tak hanya aktif dalam menyuarakan perdamaian di Dunia Arab, Rania juga menjadi duta Islam di Barat dan Dunia Internasional dengan gigih memperkenalkan wajah Islam yang toleran. Dia telah tampil di berbagai kesempatan mulai dari World Economic Forum, Oprah Winfrey Show, hingga Channel Youtube untuk menjelaskan apa itu Islam yang damai. Bersama suaminya Raja Abdullah II, Rania juga ikut serta dalam demonstrasi kepala-kepala negara di Paris mengutuk penembakan Charlie Hebdo. Bagi Rania, kelompok fundamentalis yang gemar melakukan kekerasan atas nama Tuhan merupakan para penghina Islam yang sebenarnya. “Ini bukan tentang perang antar agama. Ini perang antara kita kaum moderat di semua agama melawan kelompok ekstrimis di semua agama.”

Sebagai seorang reformis, Rania memilih untuk tidak berjilbab. Rania percaya bahwa setiap Muslimah berhak untuk memilih pakaiannya sendiri. Dia menolak segala bentuk pemaksaan berpakaian, baik itu pemaksaan berjilbab seperti di Saudi dan Iran, atau pun pemaksaan untuk melepas jilbab seperti di beberapa institusi di Turki. Berjilbab atau pun tidak, semuanya merupakan pilihan pribadi tiap-tiap individu yang harus dihormati. Pandangannya mengenai jilbab sebagai pilihan berpakaian ini pernah dia sampaikan langsung dalam acara talkshow Oprah Winfrey yang ditonton jutaan orang di seluruh dunia.

(Gambar dari: http://rack.1.mshcdn.com/)
(Gambar dari: http://rack.1.mshcdn.com/)

Meski disibukkan dengan semua urusan kenegaraan maupun kemanusiaan, Rania tetap tak melupakan keluarganya. Dia menjadi pendamping dan sahabat sejati suaminya, Raja Abdullah II, dalam membangun masa depan keluarga dan negara mereka bersama. Rania juga menjadi ibu yang baik bagi keempat anaknya, yaitu Pangeran Hussein, Putri Iman, Putri Salma, dan Pangeran Hasyim.  Di samping itu, dia juga menjadi ratu yang peduli pada rakyatnya. Rania tak segan-segan untuk turun langsung ke perkampungan, sekolah, rumah sakit, masjid, dan gereja untuk melihat langsung keadaan rakyatnya, membangun komunikasi, serta mencarikan solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi. Sosoknya menjadi teladan yang memberi kesejukan di tengah gersangnya citra Islam akibat fundamentalisme hari ini.

Sumber : https://islamreformis.wordpress.com/2015/07/28/ratu-rania-menebar-damai-dari-yordania/

Komentar

Postingan Populer