Membuka Kembali Pintu Ijtihad

(Gambar dari: http://geekgirlinlove.files.wordpress.com)
(Gambar dari: http://geekgirlinlove.files.wordpress.com)

Kata ijtihad secara bahasa berarti ‘usaha’ atau ‘perjuangan’. Dalam tradisi intelektual Islam, ijtihad merupakan suatu bentuk usaha rasional dalam mencari solusi atau suatu permasalahan khusus yang tidak ditemui pada masa Nabi, atau ditemui dengan kondisi yang berbeda dengan masa Nabi. Cara ini merupakan satu dari empat sumber hukum yang diakui secara sah oleh para ahli fiqih.

Ijtihad dalam Islam telah dimulai bahkan sejak Nabi masih hidup. Muadz bin Jabal adalah sahabat Nabi pertama yang melakukan ijtihad, yaitu membuat keputusan hukum berdasarkan pertimbangannya sendiri saat sedang berada di kota lain yang jauh dari Nabi. Khalifah kedua yaitu Umar juga dikenal banyak melakukan ijtihad. Umar misalnya pernah membatalkan hukum potong tangan bagi seorang pencuri karena melihat ketidakadilan sosial yang menjadi penyebabnya. Berbagai keputusan penting di masa berikutnya seperti pembukuan Al-Qur’an dan hadits juga diambil berdasarkan pertimbangan rasional. Dengan cara ini lah agama Islam di masa lalu berhasil melenturkan diri dengan perkembangan dunia, membuatnya mampu bertahan dan menyebar jauh sampai ke pesisir Atlantik dan pantai-pantai kepulauan Nusantara.

Dalam penerapannya, ijtihad bahkan sanggup membatalkan hukum yang ada dalam Qur’an dan hadits jika ia dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada. Khalifah Umar dengan tegas membatalkan salah satu kriteria penerima zakat yang tercantum dalam Qur’an, yaitu muallaf, dengan pertimbangan rasional bahwa kondisi umat Islam telah lebih kuat dari masa turunnya ayat tersebut. Dalam sudut pandang yang sempit, pasti lah Umar dinilai sesat karena lancang membatalkan hukum Allah. Namun Umar bersikukuh karena dia memiliki alasan logis di balik keputusannya. Pada periode kekhalifahan Baghdad dan Cordoba, ijtihad telah menjadi tradisi yang dilakukan di semua bidang mulai dari soal ibadah, hubungan sosial, tata kelola pemerintahan, hingga teologi dan filsafat. Ijtihad mengakselerasi dan melontarkan peradaban Islam ke level yang lebih tinggi. Membuatnya tetap relevan dan sesuai dengan zaman. Ijtihad menjadi kunci pembaharuan Islam.

Namun bersamaan dengan surutnya tradisi intelektual Islam, ijtihad mengalami lonceng kematiannya sekitar abad ke-10 Masehi ketika para ulama di masa itu berpikir bahwa semua masalah keagamaan sudah terpecahkan. Muncul ungkapan, “Pintu ijtihad telah ditutup.” Kematian ini berakibat pada berhentinya tradisi memperbaharui Islam. Ajaran Islam pun terkunci di titik ini. Jadi lah kitab-kitab yang ditulis sebelum pintu ijtihad ditutup itu menjadi rujukan yang diwariskan sampai ke generasi kita hari ini. Islam pun menjadi terlihat kaku dan seram karena semakin tidak relevan dengan zaman yang terus berubah.

Tugas kita lah generasi hari ini untuk membuka kembali pintu ijtihad itu. Pintu cahaya yang menjadi sumber kemajuan kita berupa karunia akal dan nurani. Islam akan sesuai dengan zaman apabila kita mampu membukanya lagi. Ketuklah perlahan. Kalau belum terbuka juga, ketuk lebih keras lagi dengan salam. Jika masih belum terbuka juga, ambil palu pembaharuan kalian dan dobrak dengan penuh semangat perubahan. Di balik pintu ini, padang pencerahan yang hijau berbunga sedang menunggu kita. Janji besar Islam sebagai agama rahmat untuk semesta.

Sumber : https://islamreformis.wordpress.com/2015/01/18/membuka-kembali-pintu-ijtihad/

Komentar

Postingan Populer